Semua bermula pada tahun lalu. Ketika keinginan untuk pindah kota semakin mantap. Jogja merupakan kandidat terkuat pada saat itu. Setelah benar-benar membulatkan tekad dan berbekal moto "que sera, sera", maka pada tanggal 8 Oktober tahun lalu saya pun meninggalkan ibukota.
Malam itu saya bertemu dua orang sahabat saya, Vara dan Dina. Sebelumnya kami bertemu di Bakoel Koffie, Cikini, lalu lanjut makan malam di sebuah kedai bakmi masih di dekat sana. Setelah makan, mereka mengantar saya ke stasiun Pasar Senen. Membawa satu buah koper, satu tas ransel, dan sebuah ukulele, kami menunggu kereta saya datang. Saya pergi memang tidak terlalu jauh. Tidak seperti Dina atau sahabat saya yang lain, Ulung, yang dua tahun sebelumnya pergi bersekolah di lain negara. Saya hanya pindah ke Jogja, kok. Kalo kangen, ya tinggal main aja ke Jakarta, atau mereka juga masih bisa dengan mudah mengunjungi saya. Tapi tetap saja, ada perasaan sentimentil saat menunggu kereta ditemani dua sahabat kita. Rasanya seperti, ya, perpisahan. Berpisah dengan rutinitas kami bertemu, ngopi, dan ngobrol ngalor ngidul sebulan sekali; berpisah dengan semua tempat-tempat nongkrong di Jakarta; berpisah dengan semua hal yang selama ini akrab dengan saya. Saya akan pindah. Pindah ke kota baru. Di sana saya tak punya banyak teman. Daerahnya pun sangat asing. Apalagi masalah bahasa!
Seperti yang saya sebutkan, pindah ke Jogja punya tantangannya sendiri bagi saya. Pertama, saya nggak bisa bahasa Jawa. Memang, seringnya kalo ngobrol pake bahasa Indonesia sih, cuma gak jarang juga saya jadi kambing congek karena lingkungan saya otomatis berbicara dengan bahasa Jawa. Kedua, bagi lidah Sumatera Garis Keras, masakan Jogja ini terbilang amat sangat super duper manis! Susah benar rasanya cari makan saat baru pindah ke sini. Sambal saja masih terasa manis buat saya. Ketiga, sebagai pengguna jasa angkutan umum sepanjang hidup saya di Jakarta, saya mengalami kesulitan dalam bermobilisasi. Karena saya tidak punya motor. Jangankan punya, mengendarainya saja saya belum fasih. Akhirnya tiga hari pertama saya selalu jalan kaki atau naik becak kalau mau bepergian. Saya pun sempat mengalami gegar budaya setelah dua minggu tinggal di sini. Saya sempat merasa "ditolak" oleh kota ini. Seakan banyak kejadian yang tidak mengenakan. Sampai puncaknya, saya menangis di pinggir jalan karena tak bisa menemukan ojek untuk pergi ke suatu tempat. Hahahaha. Culun, ya? Memang saat itu saya benar-benar merasa tak berdaya. Masak mau pergi ke satu tempat aja susahnya minta ampun! Ojek gak ada, taksi jarang yang lewat, becak mahal banget, bus lama pulak! Sangat berbeda dengan yang biasa saya jalani di Jakarta. Mau pergi ya tinggal pergi, pulang tinggal pulang, mudah.
Tapi tentu saja, ada pula yang segera saya sukai dari Jogja. Pertama, biaya hidup yang lebih rendah. Bayangkan betapa bahagianya saya ketika mendapatkan kamar kos mungil berperabot, hanya seharga 500.000 per bulan! Sekarang saya tinggal di rumah kontrakan lima kamar bersama empat orang teman. Harganya? Lima belas juta setahun! Makan, dengan uang 10.000 kita bisa makan kenyang, itu pun plus es teh manis! Begini nih, noraknya orang Jakarta kalo ke Jogja, selalu terkaget-kaget sama harga apa-apa yang lebih murah. Ada juga Mangut Lele dan Sate Klathak yang membuat saya sedikit kerasan tinggal di sini. Meski letaknya agak jauh, saya rela pergi sendiri demi kedua makanan itu! Ditambah, hilir-mudik di Jogja itu nyaman, tidak memakan waktu lama, semua serba dekat, dan yang pasti, minim kemacetan. Mau gak mau, setelah tinggal beberapa minggu di sini, saya harus cari motor. Solusi pertama adalah menyewanya. Yawis, saya beranikan diri aja nyetir motor. Untungnya motor matic. Di Jakarta dulu sih juga udah beberapa kali bawa motor, tapi gak pernah jarak jauh. Mengendarai motor segera menjadi hobi baru saya! Di sini saya pun bertemu orang-orang baru. Beberapanya bahkan menjadi teman baik. Lalu satu hal yang membuat saya mempertimbangkan untuk pindah ke Jogja adalah dunia seninya. Dulu saya berpikir, pasti asyik ya, tinggal di lingkungan seni. Banyak galeri, banyak pameran, banyak ketemu seniman. Syukurnya semua itu lantas terwujud. Kosan pertama saya berada di lokasi yang sangat dekat dengan semua itu. Cukup jalan kaki, saya bisa mendatangi empat sampai lima galeri seni.
Kalau mau diceritakan suka dan dukanya, masih banyaaaaak banget! Yang pasti, yang namanya tinggal di tempat baru, pastilah ada naik-turunnya. Semua tempat punya keistimewaan dan kekurangan masing-masing. Tak jarang saya rindu sama kehidupan saya di Jakarta, dengan keluarga saya, teman-teman saya, tempat-tempat yang biasa saya kunjungi, makanan yang biasa saya santap. Tapi saya selalu ingat, saya pindah ke Jogja bukan untuk membuang kehidupan lama, melainkan untuk meraih kehidupan baru.
Setahun saya di Jogja, syukurnya bisa saya katakan dengan pasti, berjalan cukup lancar. Mendapat pekerjaan untungnya ternyata tak sesulit yang saya bayangkan. Semua rintangan bisa saya lalui. Saya pun mendapat beberapa teman baik di sini, teman yang saya tahu bisa saya andalkan. Saya berhasil menyintas di Jogja. Semoga ke depannya, Jogja semakin menerima saya, dan begitu pula saya, semakin mencintai Jogja.
Danunegaran, 9 Oktober 2014
Pukul 01:35